Sabtu, 14 Januari 2012

Tambang Rakyat dan Hak-Hak Masyarakat Lokal, Kondisi Terkini dan Rancangan Solusi

Tambang Rakyat dan Hak-Hak Masyarakat Lokal, Kondisi Terkini dan Rancangan Solusi


Pekerja Tambang Tempo Doeloe
Pendahuluan
Pertambangan di Indonesia telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah besar bangsa ini. Seberapa tua pemakaian besi dan mineral lainnya dalam kehidupan, setua itulah umur pertambangan dilakukan rakyat. Pertambangan dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan alat-alat sederhana. Pada tahun 1651 emas dapat diperoleh secara resmi dari tangan VOC di pantai Pariaman, Minangkabau. Perdagangan emas ini berlangsung atas perjanjian bilateral antar Bandaharo di Sungai Tarab yang mengusai distribusi pengangkutan emas dari Saruaso, pedalaman Minangkabau . Dua orang Bandaharo yaitu Bandaharo Putih dan Bandaharo Kuning mengendalikan ekspor emas dari pedalaman Minangkabau, sampai pada akhir abad XVIII, bangsa eropa yang pertama yang menyelidiki sumberdaya alam di Tanah Datar, menyebutkan emas mulai habis didaerah tersebut .
Rombongan Mandor Belanda
Didaerah Gorontalo, tercatat pertambangan emas telah dimulai sejak jaman Belanda. Van Bemmelen (1949) telah melaporkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi emas dan tembaga di daerah Buladu oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai sejak Zaman Hindia – Belanda (abad ke-18). Bukti sejarah yang terdapat di daerah ini antara lain 3 buah kuburan Belanda di Pantai Buladu yang meninggal tahun 1899, lubang-lubang tambang dengan rel dan lori, alat pengolahan bijih emas berupa belanga berukuran besar, dan tailing padat yang terdapat di sekitar lokasi tambang .
Sementara penambangan rakyat yang lebih muda umurnya dalam sejarah seperti penambangan yang dilakukan di daerah Kelian, Kalimantan. Usaha penambangan emas oleh masyarakat setempat di Kelian diperkirakan baru dimulai setelah tahun 1930. Sebab, para geolog Belanda yang melaporkan adanya penambangan batu bara sekitar enam kilometer dari muara Sungai Kelian pada awal tahun 1930-an tidak melaporkan adanya penambangan emas. Penemuan emas oleh suku Dayak yang berdiam di pinggir sungai itu baru dilaporkan pertama kalinya tahun 1950-an. Menurut catatan pemerintah, tahun 1958-1963 dihasilkan emas 100-300 kg per tahun. Tetapi, diduga emas yang didapatkan lebih besar dari yang tercatat itu. Areal inilah yang kemudian diberikan konsesi oleh pemerintah kepada PT. Kelian Equatorial Mining (KEM).
Panjangnya lintasan sejarah yang dilalui oleh pertambangan dalam kehidupan rakyat, dapat dilihat pada aturan-aturan local (adat) dibanyak tempat , mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pertambangan. Di Minangkabau (Sumbar) terdapat aturan tentang pengelolaan ulayat termasuk pertambangan yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan ulayat-sumberdaya tambang. Aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) tersebut berbunyi:
Karimbo Babungo Kayu, ka Sungai Babungo Pasia, Kaladang Babungo Ampiang, Katanah babungo ameh .
Pepatah adat ini menggariskan bahwa setiap pemanfaatan SDA dalam territorial Minangkabau harus memberikan kontribusi kepada masyarakat adat setempat. Dalam konteks pertambangan, fee untuk masyarakat adat inilah yang disebut dengan “Bunga Emas”.
Data-data diatas menunjukkan kepada kita bahwa pertambangan telah menjadi satu bentuk usaha yang sangat tua, dikelola secara mandiri dengan alat-alat sederhana dan diselenggarakan oleh komunitas-komunitas masyarakat mandiri dan telah berkembang jauh sebelum republik ini ada. Uraian-urain singkat diatas juga menunjukkan terdapat masyarakat-masyarakat didaerah yang karena mata pencaharian dan interaksi dengan pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus, melahirkan budaya pertambangan, meskipun pada saat ini dinamai dengan penambangan tradisional, penambang rakyat atau bahkan penambang tanpa ijin (PETI).
Sehubungan dengan lokakarya Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang diselenggarakan oleh Fraksi PDIP menurut hemat penulis adalah sebuah langkah positif dan maju dalam sejarah perancangan dan produksi perundang-undangan di Indonesia. Dimana forum ini hendaknya menjadi salah satu media yang produktif untuk menghimpun pendapat publik, meskipun pada titik akhir, kuasa politik juga akan menentukan karena produk perundangan lahir dalam sebuah proses politik legislasi di sebuah lembaga yang disebut sebagai Perwakilan Rakyat. Pada kesempatan ini penulis diminta untuk menjadi pemancing diskusi dengan tema Tambang Rakyat dan Hak-Hak Masyarakat Lokal, Kondisi Terkini dan Rancangan Solusi.
Sebelum masuk kepada pembahasan tema yang diminta, penulis ingin memberikan gambaran singkat terhadap istilah-istilah pada tema yang dimintakan. Hal ini penting untuk membatasi penulis dalam mengupas pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat. Karena penulis melihat banyaknya lika-liku perjalanan yang dilalui para penambang ini, suka dan duka, menyebabkan pembahasan topik ini akan sangat menarik dan sulit dikontrol apabila tidak tidak didudukkan garis-garis pembahasan terlebih dahulu.
Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada Pasal 2 huruf n, UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Dalam pasal ini disebutkan bahwa Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Sementara itu untuk kata masyarakat lokal cendrung disandingkan dengan masyarakat adat dalam membedakan dua kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu daerah. Masyarakat adat lebih dicirikan oleh aturan-aturan adat yang diwarisi secara turun temurun dengan rentang waktu yang sulit diukur. Sedangkan masyarakat lokal cendrung menggunakan ketentuan-ketentuan yang waktu pembuatannya lebih diketahui, sesuai dengan waktu kedatangan mereka kedaerah tersebut. Selain itu masyarakat lokal cendrung lebih plural dan beragam, jika dibandingkan dengan masyarakat adat.
Sementara itu dalam pendekatan hukum yang berjalan, Ricardo Simarmata menulis “istilah hukum lokal (local law) belakangan lebih kerap untuk menggantikan istilah hukum rakyat (folk law). Ini disebabkan karena secara historis istilah hukum rakyat diidentikkan dengan cerita rakyat. Bila istilah hukum lokal digunakan untuk keperluan melakukan pembedaan dengan hukum negara (state law) maka istilah tersebut sekaligus mengandung hukum adat, kebiasaan dan hukum agama .
Dalam pembahasan ini, penulis ingin memberikan titik tekan secara bertingkat dimana titik tekan terbesar berada pada pembahasan penambang rakyat yang berasal dari komunitas adat. Setelah itu barulah berangkat pada penambang-penambang yang kemudian datang dan menetap bersama dengan masyarakat adat yang mewilayahi tempat penambangan tersebut.
Selain itu, makalah singkat ini tentunya tidak dapat melukiskan secara utuh semua aspek-aspek penambangan yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional. Tetapi akan mencoba menggambarkan secara singkat bagaimana hubungan interaksi antara penambang tradisonal dengan pihak luar mereka, terutama melihat perlakuan negara (pemerintah) dari jaman kolonial sampai dengan saat ini. Makalah ini akan berusaha menggambarkan sisi-sisi menarik dari setiap periode yang dilalui oleh para penambang rakyat.
Antara Kontrak Sosial Dengan Pola Penundukan ;
Selintas Pola Hubungan Negara dengan Masyarakat Adat
Sebagai pembuka, penulis ingin mengutip sebuah tulisan sebagai berikut; “Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal, di seluruh pelosok nusantara ini (sebagian menjadi wilayah Indonesia) telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang berdaulat” . Kedaulatan yang meliputi juga pengelolaan SDA termasuk tambang, kemudian dari waktu kewaktu berpindah kepada entitas dan organ yang lebih kuat.
JJ. Rousseu, salah seorang ahli filsafat, pernah menyatakan bahwa negara adalah sebuah badan atau organisasi sebagai hasil dari perjanjian masyarakat yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama selain kekuasan pribadi dan milik setiap individu. Sementara itu Hans Kelsen menyatakan bahwa negara adalah sebuah badan hukum (rechts persoon) yang memiliki hak dan kewajiban, disamping memiliki kekuasaan untuk membentuk hukum (mengatur).
Jika kita berangkat dari kedua pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara tersebut dibentuk dengan kesepakatan dan bertujuan untuk melindungi masyarakat. Untuk itu dia diberikan kekuasaan untuk mengatur dengan hukum. Ketika negara terbentuk, ada sebagian kewenangan komunitas-komunitas pembentuk negara tersebut yang diberikan kepada penyelenggara negara.
Pada bagan I coba diberikan gambaran sederhana dari hubungan relasi tersebut. Bagan ini memberikan gambaran bagaimana masyarakat menyerahkan sebagian kedaulatannya termasuk sumberdaya pertambangan kepada otoritas negara dengan harapan negara dapat mengurus, mengatur dan melindungi sumberdaya tersebut untuk masyarakat. Untuk pengaturan sumberdaya tersebut kemudian negara membuat hukum. Sebagai orang yang menyerahkan kewenangan, tentunya masyarakat memiliki hak untuk mengontrol pelaksanaan dan penyelenggaraan kewenangan tersebut.
Berbeda halnya jika negara tersebut terbentuk atas proses penundukan komunitas-komunitas independen seperti masyarakat adat. Tentu hubungan yang berlangsung adalah hubungan penguasaan yang sangat hegemonik, menekan seperti layaknya hubungan orang yang ditundukkan dengan penguasanya. Mungkin hubungan ini jelas terlihat pada pola perbudakan dan penjajahan.
Topik ini penulis anggap penting untuk membantu pembaca menganalisis, hubungan seperti apa yang berlangsung selama ini antara masyarakat adat sebagai pemilik sumberdaya pertambangan, dengan negara. Apakah hubungan yang terbangun adalah hubungan kontrak politik sebagaimana yang disampaikan oleh JJ. Rousseu diatas atau justru hubungan yang hegemonistik dalam skema penundukan.
Sehingga pada bagian selanjutnya, ketika penulis mengajak pembaca merenangi sejarah dan politik kebijakan yang berlangsung dalam pengaturan tambang rakyat, penulis berharap dapat mengantarkan pembaca pada titik rasa penasaran, dan pada analisa-analisa paradigmatic untuk mencari kebijakan yang tepat bagi pengaturan tambang rakyat saat ini dan akan datang.
Bagaimana Negara Mengatur Pertambangan Rakyat
Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan yang dilakukan negara terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan akan dibagi atas periode Kolonial Belanda dengan Periode Republik Indonesia. Gambaran kedua periode tersebut, secara tidak langsung memberikan gambaran kepada kita tentang perbandingan kedua masa tersebut. Dalam perbandingan tersebut, terdapat perbedaan dan kesamaan-kesamaan dan jika pembaca menganalisis sampai pada tataran paradigma pengaturan tambang rakyat pada kedua jaman ini, maka pembahasan tentang hubungan masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA yang dipaparkan diatas akan menjadi relevan.
a)Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Kolonial Belanda
Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1709, VOC telah mengadakan transaksi jual beli dengan Sultan Palembang, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penggalian timah di pulau Bangka (1816), Pulau Belitung (1851), dan Pulau Singkep (1818). Pertambangan Batubara di Indonesia pertama kali dilakukan oleh NV Oost Borneo Maatschapij pada tahun 1849 di Pangaron, Kalimantan Timur. Pada tahun 1818 sebuah perusahaan swasta Belanda melakukan kegiatannya di Pelereng, yang terletak 10 Km di tenggara Samarinda. Pada tahun 1868-1873, dilakukan penyelidikan geologi di daerah Sungai Durian, Sumatera Barat dan ditemukan suatu lapangan Batubara Ombilin yang potensial. Pada tahun 1892, tambang batubara Ombilin di Sawahlunto mulai beroperasi bersamaan dengan selesainya pembangunan kereta api pada tahun 1892.
Pada tahun 1899 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan pokok pertambangan diatur dalam Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241. Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241 kemudian ditambah dan diubah pada tahun 1910, 1918 dan 1906. Pada masa itu pertambangan-pertambangan besar seperti pertambangan Batubara di Omblin dan pertambangan timah di Bangka dilakukan oleh negara. Tetapi pihak swasta juga diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan pertambangan seperti pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara .
Dalam beberapa kejadian, ditingkatan tertentu pemerintah Kolonial Belanda mengikutsertakan masyarakat adat dalam proses pertambangan. Pada satu sisi, pemerintah Kolonial Belanda merupakan penjajah yang ingin mendapatkan keuntungan dari sumberdaya alam. Tapi disisi lain pemerintah Kolonial Belanda tidak mau mengambil resiko dengan memasukkan secara paksa para penambang dalam areal masyarakat adat.Terdapat kasus dimana pemerintah Kolonial Belanda mewajibkan pengusaha pertambangan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dengan masyarakat adat pemilik wilayah adat tersebut setelah sipengusaha mendapat konsesi pertambangan dari pemerintah colonial Belanda. Salah satu contoh menarik adalah di Sawahlunto-Sumatera Barat. Wilayah yang diperjanjikan ini kemudian berkembang menjadi wilayah pertambangan PT. BA-UPO di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Pada tanggal 27 Juli 1896 Emile Leunardus van Rouveroy van Nicuwaal, Asisten Residen Tanah Datar yang sekaligus sebagai pelaksana tugas notaris keresidenan tersebut dan daerah Vord Vander Capellen kedatangan tamu. Tamu tersebut terdiri dari seorang pengusaha warganegara Belanda bernama Pieter Jacobus Scuuring bersama-sama dan Djaar Gelar Sutan Pamuncak, wakil dari pangulu-pangulu suku di Laras Silungkang dengan didampingi.
Kedua orang berlainan bangsa ini menginginkan perjanjian yang mereka buat didaftarkan di notaris. Perjanjian tersebut berupa perjanjian antara Masyarakat Adat Kelarasan Silungkang dengan Pieter Jacobus Scuuring tentang pengusahaan batubara yang terdapat diwilayah masyarakat adat ini. Pokok perjanjiannya adalah
1.Masyarakat adat Kelarasan Silungkang bersedia untuk menyerahkan pemanfaatan batubara miliknya kepada Pieter Jacobus Scuuring dan akan menjaga keamanan usaha penggalian batubara tersebut.
2.Pieter Jacobus Scuuring akan memberikan 1/10 (sepersepuluh) dari keuntungan yang didapat dalam mengusahakan pertambangan batubara tersebut kepada penduduk Kelarasan Silungkang dan akan memberikan sejumlah uang kepada orang-orang yang terlibat dalam perjanjian ini, dengan anggaran tidak lebih dari F. 4000 (empat ribu gulden) per tahunnya.
Perjanjian Pertambangan Batubara antara Masyarakat Adat Silungkang Pengusaha Belanda
(Djaar Sutan Pamuncak dengan Pieter Jacobus Scuuring)
Pada saat yang bersamaan, dibanyak tempat banyak bertumbuhan pertambangan rakyat. Tetapi belum banyak pengaturan terhadap penambang rakyat tersebut. Perijinan pertambangan rakyat diberikan oleh penguasa setempat dengan cakupan bahan galian seperti timah, emas dan intan. Khusus mengenai tambang intan, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordonantie tanggal 25 Nopember 1923 Staatblats 1923 No. 565 yang mencabut Ordonantie tanggal 7 Juni 1900 Staatblats 1900 No. 174 . Pengaturan ini memuat ketentuan diantaranya:
1.Pertambangan intan tanpa konsesi di Martapura dan Pelaihari hanya boleh dilakukan oleh penduduk setempat.
2.Bagi penambang yang menambang tanpa menggunakan mesin harus seijin residen dan harus membayar f. 0, 5 per 6 bulan.
3.Bagi penambang yang menambang dengan menggunakan mesin harus memperoleh ijin menyewa dari Residen dan dikenai ongkos sewa sebanyak f. 0,4 per meter per tahun. Penambang juga diwajibkan membuat batas wilayahnya dengan biaya sendiri.
4.Bagi yang melakukan penambangan tanpa ijin dikenai hukuman kurungan 1 tahun dan denda paling tinggi f. 100.
b)Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sakalian nego utan tanah, Baik pun jirak nan sabatang, Sampai ka rumpuik nan sahalai, Maupun batu nan saincek, Kabawah takasiak bulan, Kaateh mambubuang jantan Pangkek pangulu punyo ulayat, Kok ayianyo buliah diminum, Kok buahnyo buliah dimakan, nan tanahnyo tingga, ibaraik kabau bakubang, kabau tagak, kubangan tingga .
Gambaran singkat tentang Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan dimulai dengan pembahasan yang legendaris tentang dasar justifikasi Negara (NKRI) dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan). Dasar justifikasi tersebut popular dengan sebutan Hak Menguasai Negara (HMN).
Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah penting. Hak Mengusai Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional yang memberikan negara kekuatan untuk mengatur, mengelola dan mengusahakan sumberdaya pertambangan. Perdebatan tentang Hak Menguasai Negara (HMN) mendapat tempat yang lebar dalam membahas hubungan Negara dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) di Indonesia termasuk didalamnya pertambangan. Banyak penulis yang konsernt terhadap hak-hak masyarakat dalam PSDA, menggugat dan mempertanyakan kembali dasar filosofis, sosiologis dan yuridis HMN. Gugatan ini timbul karena bias penguasaan yang dilakukan oleh Negara (pemerintah) terhadap SDA, telah menimbulkan konflik-konflik land tenure dan land use antara pemerintah dengan masyarakat.
HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan konsep ulayat yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap konsep Negara hukum klasik yang dipengaruhi oleh paham liberalisme dan Negara hokum sosialis yang dipengaruhi oleh paham marxisme .
Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak dipandang hanya semata sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga mempunyai fungsi sebagai alat pelayanan (an agency of service). Ciri-ciri Negara kesejahteraan ini adalah; 1) mengutamakan hak social ekonomi masyarakat, 2) peran eksekutif lebih besar dari legislative, 3) hak milik tidak bersifat mutlak, 4) Negara tidak hanya sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat) tapi juga terlibat dalam usaha-usaha social maupun ekonomi, 4) kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur social ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga Negara, 6) hukum public condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi dari peran Negara yang luas dan 7) Negara bersifat Negara hukum materil yang mengutamakan keadilan social yang materil. Dengan pemahaman inilah, Negara mempunyai hak untuk ikut campur dalam pertambangan.
Dalam kerangka hukum adat, ulayat adalah wilayah pengelolaan yang berada dalam penguasaan bersama (communal right). Dalam praktek, penguasaan ini di implementasikan oleh wakil-wakil mereka, misalnya ketua-ketua adat. Seperti diawal sub bagian ini, kutipan pepatah adat diatas adalah azas-azas hukum adat yang menjelaskan tentang posisi HMN dalam masyarakat adat Minangkabau. Menurut pepatah ini, ulayat tersebut terdapat didalamnya bahan seluruh kekayaan alam, mulai dari permukaan tanah, dasar bumi sampai keudara yang terdiri dari benda-benda hidup dan benda-benda mati. Penguasaan ulayat di jalankan oleh Pangulu sebagai representasi pemilikan komunal suku-suku pemegang hak ulayat. Dimana hasil-hasilnya dapat dinikmati dan Hak Pangulu untuk “menguasai”. Kata menguasai tidaklah berarti sebagai Pemilik. Pengaturan ulayat ini kemudian dikunci dengan pengaturan bagaimana pemanfaatan ulayat oleh pihak ketiga yang diibaratkan seperti kerbau yang berkubang dikubangan milik orang lain, ketika dia pergi, maka kubangan tetap menjadi milik dari masyarakat setempat.
Pasal 33 UUD 1945 memberikan gambaran bagaimana Indonesia mengadopsi kedua paham ini dan pasal 33 UUD 1945 memberikan landasan yuridis bagi Pasal 2 UU No. 5 tahun 1960 yang berbicara bertama kali tentang konseptualisasi HMN dalam tingkatan yang lebih teknis dalam pengelolaan SDA. Pasal 33 UUD 1945 memberikan penekanan pada penguasaan Negara terhadap Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 lebih memperjelas ruang lingkup HMN tersebut yaitu; 1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, 2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan 3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa atau dalam kalaimat lain dapat disimpulkan, komponen yang terkandung dalam HMN tersebut adalah kekuasaan untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren) dan mengawasi (toezicthouden).
Tapi jika dilihat lebih mendalam, sangat menarik membaca dan mereview kembali landasan berpikir para pembentuk undang-undang tentang hal ini. “…oleh karena suku-suku bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah menjadi bagian dari satu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak berada ditangan kepala suku atau masyarakat hukum adat/desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya…dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak mengusai/ulayat seluruh wilayah negara” . Paradigma pembentuk undang-undang diatas nampaknya sangat berpengaruh dan mengalami penjaman dalam prakteknya.
Aturan pertambangan pertama yang diundangkan pada masa adalah UU No. 37 Prp Tahun 1960. Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang menentukan bahwa semua bahan galian (a,b,c) yang diusahakan oleh rakyat secara kecil-kecilan dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri menurut adat kebiasaan daerah atau diusahakan secara koperasi. Aturan selanjutnya yaitu Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Tentang Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan Penguasaannya yang diikuti dengan Kepmen Pertambangan No. 206/M/Pertamb/65 Tentang Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan Penguasaannya.
Ketiga ketentuan tersebut sangat dipengaruhi oleh politik Berdiri di Kaki Sendiri (berdikari). Secara tersirat terbaca bahwa keinginan pemerintah untuk menertibkan pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan sejumlah uang iuran dari penambang-penambang rakyat. Persandingan bahasa penertiban dan pembinaan tidak memberikan kesejukan terhadap pertambangan rakyat. Tidak terdapat catatan yang pasti terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu.
Pada tahun 1967 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diundangkan. HMN dinyatakan dengan tegas pada pasal 1 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pasal 1 ini menyatakan bahwa semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat.
UU No. 11 tahun 1967 mendevinisikan pertambangan rakyat sebagai Pertambangan Rakyat; adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c seperti yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan dengan bimbingan Pemerintah. Pertambangan Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan Rakyat.
UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam ketentuan ini ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan setelah mendapat Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat yang dikeluarkan oleh menteri. Dimana Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas.
Selanjutnya beberapa ketentuan dikeluarkan untuk mengatur pertambangan rakyat ini diantaranya Kepmen Pertambangan No. 181/Kpts/M/Pertamb/69 tentang Tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan galian timah Putih di Riau Daratan, Kepmen Pertambangan No. 188/Kpts/M/Pertamb/1969 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Propinsi Bengkulu, Kepmen Pertambangan No. 77/Kpts/M/Pertamb/1973 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi Utara, Kepmen Pertambangan No. 763/Kpts/M/Pertamb/1974 tentang Pengaturan Izin Pertambangan Rakyat Untuk bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik Malaya Propinsi Jabar, Permen Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis Dan Vital (Golongan A & B)
Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang kebijakan pemerintah yaitu :
1.Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2.Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat harus menyingkir.
3.Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap dibuka kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin pemegang kontrak pertambangan.
4.Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan sejumlah pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak jelas dan diserahkan kepada pemda setempat.
Akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat tersebut, banyak pertambangan-pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). Kepala dinas Pertambangan Kalimantan selatan menyebutkan Sepanjang tahun 1997-2000, tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang 334 penambang tanpa ijin yang tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan memakai alat berat . Sedangkan di Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto sampai dengan tahun 2000 terdapat 2500 orang penambang liar . Sementara itu di Jambi, dikecamatan Palepat Kab. Bungo sampai tahun 2001 terdapat kurang lebih 500 orang penambang tanpa ijin . Di Kalimantan Selatan sampai tahun 2001 terdapat 6000 orang penambang emas tanpa ijin.
Khalid Muhammad menulis bahwa Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa Ijin) juga diberikan bagi para penambang emas yang rata-rata dilakukan dengan skala kecil dan oleh masyarakat setempat ataupun pendatang dari daerah sekitar lokasi bahan tambang, yang tergiur untuk mengadu nasip pada bahan tambang itu. Akhir-akhir ini berbagai perhatian tertuju pada para penambang emas skala kecil, karena jumlah mereka dari tahun ke tahun meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi penambangan kecil yang menghasilkan hampir semua mineral untuk kegiatan industri yang bernilai sekitar US $ 58 juta pertahun. Rendahnya jumlah penambang skala kecil yang mendapat ijin dari pemerintah lebih disebabkan oleh persoalan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam memperoleh ijin penambangan .
Selain masalah-masalah tersebut, kebijakan yang mendahulukan pemegang kontrak pertambangan daripada penambang rakyat, juga menui konflik. Salah satu kasus yang terjadi yaitu konflik antara masyarakat adat daya Siang dengan PT. Indo Muro Kencana di Kab. Barito Utara Kalimantan Selatan. Diatas areal adat dan areal penmbangan daya Siang pemerintah menerbitkan Kontrak Karya atas nama PT. Indo Muro Kencana yang 100% sahamnya dimiliki oleh Aurora Gold asal Australia. Areal kontrak karya PT. Indo Muro Kencana ini tumpang tindih dengan wilayah pertambangan rakyat dan areal kawasan adat lainnya.
Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian pelaksanaan Inpres ini mendapat reaksi yang keras karena praktek dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi keras berdatangan salah satunya dari WALHI dan JATAM dalam siaran persnya tanggal 8 Juni 2000 .
Menakar Nasib Tambang Rakyat Dengan RUU Mineral dan Batubara
Disepanjang 2003 sampai dengan 2004 pemberitaan kasus-kasus dan pengaturan pertambangan di Indonesia menyita perhatian pulik. Kelahiran Perpu No. 1 Tahun 2004 yang kemudian disyahkan menjadi UU No. 19 Tahun 2004 memberikan warna tersendiri di pentas sejarah pertambangan. Sementara itu, cakupan UU No. 11 Tahun 1967 mulai berkurang dengan lahirnya UU Migas dan dilanjutkan dengan pembuatan RUU Mineral dan Batubara yang saat ini dibahas di DPR. Tapi apakah sikap pemerintah dalam memandang tambang rakyat dan PETI berubah ?.
Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 Republik Indonesia pemerintah menyebutkan ;
“……….Dengan demikian, perkembangan penerimaan SDA pertambangan umum tersebut, pada dasarnya dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu tarif per jenis pertambangan, harga jual, luas atau volume, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu, faktor nonekonomi yang diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan penerimaan SDA pertambangan umum antara lain meliputi masalah keamanan di daerah daerah penambangan, yang rawan terjadi penambangan tanpa ijin (Peti).
Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata pemerintah sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dengan kenyataan ini, dalam rencana kerja pemerintah tahun 2006, PETI menjadi salah satu prioritas yang harus ditangani segera. Penetapan prioritas ini didasarkan pada pemikiran sebagai berikut;
Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah kasus-kasus pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan sosial dari kasus PETI ini membuat penanganannya harus hati-hati.
Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI dengan kegiatan-kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri dan sianida dalam usaha pertambangan emas rakat termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada industri kecil .
Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan pada tahun 1996 tersebut. Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat menjadi sebuah masalah yang cukup besar yang menyebabkan menurunnya pendapatan negara. Tentu pencantuman PETI sebagai salah satu sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan dampak yang serius terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena sebagian besar pertambangan rakyat dalam operasinya tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah.
Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan menyentak ketika membaca naskah akademik RUU Minerba. Para penyusun naskah akademik ini mengkategorikan PETI yaitu PETI versi baru dan PETI versi lama (tradisional). PETI versi baru dicirikan dengan adanya penyandang dana (cukong) dan kadang-kadang oknum aparat sebagai backing, serta operasi dengan modus operandi memperalat kalangan masyarakat bahwa menjadi “korban” pembangunan, ini, yang didalamnya terlibat masyarakat pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata menjadi kekuatan yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI versi baru. PETI ini menimbulkan masyalah yaitu 1) merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan negara dari sektor perpajakan, merusak dan mencemari lingkungan, 3) melecehkan hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah lain yaitu, kecelakaan tambang, iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan, premanisme dan prostitusi .
Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan baru). Tidak ada pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama (tradisonal) yang sebagian besar adalah penambang-penambang tradisi seperti yang diungkap pada bagian-bagian awal makalah ini. Persoalan-persoalan yang timbul dan menghadapkan negara dengan penambang rakyat / PETI versi lama (tradisonal) yang seringkali tergusur ketika wilayah penambangannya ditimpa oleh kontrak-kontrak penambangan besar, seperti dilupakan. Sehingga dengan paradigma seperti ini, maka perlakukan terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan sama.
Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana tentang HMN dan pengakuan negara atas hak ulayat masyarakat adat kearah yang lebih menguntungkan pihak pertambangan. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dianggap oleh para pembuat naskah akdemik ini menjadi sebuah hambatan bagi perkembangan pertambangan khususnya pengaturan Hak Mengusai Negara yang tidak berarti dimiliki (penjelasan umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan kedudukan sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .
Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang dalam naskah akademik RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk semakin memperkuat kekuasaan negara atas sumberdaya pertambangan. Terdapat keinginan untuk mendorong hak-hak pertambangan memiliki posisi yang lebih tinggi dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak ulayat. Akan tetapi logika HMN yang ditawarkan oleh naskah akademi RUU minerba menjadi inkonsisten dengan tawaran yang dimunculkan pada pasal pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara. Pembahasan ini akan relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa melakukan kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private. Tetapi wacana ini justru dijawab dengan mekanisme perinjinan .
Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tambang rakyat, meskipun mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya kesan yang kuat muncul menunjukkan kurangnya perhatian dan orientasi pembinaan terhadap mereka. Jika keseriusan pembinaan terhadap pertambangan rakyat ada dan orientasi pengembangan pertambangan membuka kesempatan yang luas dan setara terhadap penambangan rakyat, maka kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti Bolivia dalam memperlakukan tambang emas rakyat. Untuk memperbaiki kualitas lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala kecil, pemerintah Bolivia mengadakan perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk menjalankan Program Manajemen Lingkungan Hidup Terpadu Pada Usaha Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh Dirjen Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan beberapa metode dalam pengolahan emas dalam pengurangan emisi mercury dan telah berhasil menurunkan emisi mercury tersebut sebanyak 5 ton per tahun .
Catatan-Catatan Penting dan Tawaran Solusi Alternatif
Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat, terdapat beberapa catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita yang akan menerangi jalan bagi pencarian-pencarian upaya terbaik untuk mendudukkan sumberdaya pertambangan khususnya mineral dan batubara.
1.Pertambangan rakyat merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Para penambang-penambang ini telah lebih dulu hadir jika dibandingkan dengan kontrak-kontrak pertambangan dan mereka memiliki klalm sejarah yang lebih tua dari negara. Keluarnya “devinisi” penambang rakyat versi baru yang dinyatakan oleh pembuat ruu minerba tidak dapat menjadi alasan bagi penyamarataan perlakuan diantara keduanya.
2.Sesungguhnya jika kita mau bercermin secara jujur, pengaturan sumberdaya tambang yang berada ditengah-tengah rakyat, apakah itu memakai idiom pembinaan, penertiban atau infentarisasi dari masa-kemasa merupakan bentuk lain dari perebutan sumberdaya itu sendiri. Banyak kasus-kasus dari masa kemasa yang melibatkan berbagi aktor (rakyat, pengusaha & pemerintah) menunjukkan satu grafik penting yakni semakin menurunnya kedaulatan masyarakat terhadap sumberdayanya.
3.Sejak lama terjadi pengambilalihan secara sistematis pemilikan-pemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya pertambangan. Masalah-masalah yang timbul dari pengambil alihan kepenilikan ini sampai hari ini tidak terselesaikan karena secara tidak langsung politik kebijakan dan hokum yang dikembangkan oleh Negara, menegasikan hal tersebut. Akan tetapi penegasian yang berlangsung sekian lama itu tidak dapat menghapuskan keberadaan masyarakat adat. Sehingga konflik-konflik kepemilikan terus berkembang dari waktu-kewaktu.
4.Catatan-catatan yang dapat diambil dari berbagai kebijakan yang pernah ada sampai pada kebijkan yang akan ada, pengaturan tambang rakyat selalu dimulai dengan pendekatan pajak. Kesan utama yang muncul dari pengaturan tersebut adalah bagaimana negara mendapatkan iuran atau pajak dari tindakannya mengatur pertambangan. Paradigma ekonomi dan pendapatan negara ini ternyata banyak menimbulkan banyak bias dan pertentangan dengan rakyat.
5.Amat menarik membandingkan kenyataan di jaman penjajahan, terjadi kontrak setara antara masyarakat adat dengan pengusaha Belanda yang akan mengusahakan sumberdaya tambangnya yang merupakan satu bagian kecil dari sebuah pengakuan terhadap pemilikan masyarakat dengan tidak adanya pengalaman serupa dialam kemerdekaan dimana kontrak-kontrak seperti itu tidak pernah lagi melibatkan masyarakat.
6.Jika sedikit dibuka cakrawala terhadap kebijakan yang ditawarkan oleh RUU Minerba, jelas terlihat ternyata diskursus sektoralisme tidak pernah maju. Kegagalan-kegagalan pendekatan sektoralisasi tidak menjadi pelajaran bagi penyusun RUU, sehingga jika dibaca kajian dalam naskah akdemiknya, jelas terlihat singkronisasi yang ditawarkan adalah singkronisasi yang berarti penyesuaian sektor dan peraturan sektor lain terhadap sector pertambangan dan peraturan pertambangan. Sehingga secara gamlang dapat ditangkap keinginan sector pertambangan untuk menjadi sector yang utama .
7.Pendekatan-pendekatan pemberian ganti rugi lahan, ganti rugi tanam tumbuh tidak memberikan solusi bagi konflik-konflik pertambangan. Jika dihubungkan dengan berbagai ketentuan perolehan tanah untuk usaha-usaha swasta seperti misalnya peraturan yang mengatur tentang ijin lokasi, menunjukkan bahwa pemberian ganti rugi sangat erat hubungannya dengan tingkat dan levelitas pengakuan negara terhadap pemilikan rakyat, yang mana secara pesimis dapat ditarik kesimpulan pengakuan itu diberikan dengan setengah hati. Padahal jika dikaji lebih jauh pendekatan ganti rugi ini tida memberikan jaminan kelangsungan hidup rakyat.
8.Satu pertanyaan untuk menggugah kita semua dengan melihat kenyataan perlakuan terhadap penambang rakyat-tradisional saat ini, apakah negara ini terbentuk atas “penundukan” komunitas-komunitas independen seperti masyarakat adat sehingga pola yang hubungan yang berkembang adalah penguasa dan orang kalah yang dikuasai ?. Lalu bagaimana dengan kontrak sosial tersebut, apakah itu sebuah kajian imaginer dan utopi untuk memperlama diskusi, sehingga lupa dengan fakta yang sesungguhnya.
Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang muncul, penulis ingin menawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini tidak dibatasi hanya untuk masalah tambang rakyat saja, karena sesungguhnya masalah-masalah yang timbul dalam bentuk masalah tambang rakyat, merupakan bagian kecil dari masalah pertambangan yang sesungguhnya. Solusi ini akan penulis bagi atas dua yaitu solusi transisional dan solusi utama. Solusi transisional adalah solusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya solusi utama bagaimana mengatur pertambangan di Indonesia.
Solusi Transisional
1.Perlu ada sebuah kebijakan yang memerintahkan evaluasi pemanfaatan sumberdaya alam terutama pertambangan yang merupakan kekayaan bangsa. Evaluasi ini menyangkut kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat dan praktek yang terjadi dilapangan. Dengan itu tentunya pembahasan RUU Minerba di DPR harus dihentikan terlebih dahulu.
2.Perlu mendata konflik dan mencari solusi konflik-konflik pertambangan yang berlangsung sejak lama dan tidak terselesaikan, apakah itu konflik yang berakar dari klaim hak kepemilikan ataupun konflik yang timbul dari dampak-dampak pertambangan.
3.Sesegera mungkin mendata dan mempersiapkan program pembinaan PETI yang disusun secara partisipatif termasuk masalah pengendalian lingkungan hidup, dimana solusi dan pendekatan terhadap penambang tradisional (versi lama) harus berbeda dengan PETI versi baru .
4.Menangguhkan untuk sementara waktu pemberian kontrak-kontrak pertambangan baru dan mengefektifkan kontrak-kontrak pertambangan yang sudah ada dengan memperketat dan mempertinggi standar lingkungan hidup.
Solusi Utama
Setelah solusi-solusi transisional tersebut dapat dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, pada tahap selanjutnya barulah dapat dibangun solusi masalah utama yang akan menyentuh masalah sesungguhnya dalam pengelolaan SDA termasuk tambang. Alternatif solusi tersebut diantaranya :
1.Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan) yang semata berparadigma ekonomi dan menurunkannya dalam rencana pengelolaan sumberda alam yang komprehensif.
2.Pengakuan normatif terhadap pemilikan masyarakat adat atas sumberdaya alam yang tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, khususnya yang mengatur tentang hak ulayat segera diturunkan pada ketentuan yang lebih operasional.
3.Membuat peraturan payung pengelolaan sumberdaya alam yang berisi prinsip-prinsip pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
4.Dalam pembuatan peraturan pertambangan perlu diadopsi prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC) . Prinsip-prinsip FPIC ini menjadi relevan untuk mengurangi konflik-konflik yang akan terjadi. FPIC terkait empat unsur mendasar yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku secara kumulatif. Secara definitif keempat hal dasar ini dapat diartikan sebagai berikut; 1) Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyakarat, 2) Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat, 3) Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya dan 4) Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri .
Lahirnya solusi komprehensif terhadap kebijakan pertambangan termasuk pertambangan rakyat akan membuka jalan bagi lahirnya aturan hukum yang responsive dan mendapat legitimasi yang kuat dari masyarakat. Akankah ?.
Jakarta, 10 Agustus 2005
Lampiran 1
Beberapa Peraturan Tentang Tambang Rakyat
NoPermenJudulPoin PentingKeterangan
1.Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi
No. Kpts.20/WPB-KOTOE Thn 1965Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan PenguasaannyaSetiap usaha dibidang pertambangan intan dan bahan galian lain yg bersamaan pengusahaannya yg berbentuk penambangan/pendulangan, pengolahan/pengasahan,pengangkutan/penjualan/eksport, yg dilakukan baik secara besar-besaran maupun secara kecil-kecilan dengan tidak memandang apakah usaha pertambangan tersebut didasrkan pada tradisi/kebiasaansetempat atau tidak, diharuskan adanya izin/kuasa pertambangan terlebih dahulu dari Menteri Perindustrian Dasar/PertambanganPeraturan ini untuk pelaksanaan prinsip berdiri di kaki sendiri dibidang pertambangan
2.Kepmen Pertambangan No. 206/M/Pertamb/65Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi
No. Kpts.20/WPB-KOTOE Thn 1965 Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan PenguasaannyaPerintah kepada Gubernur, Khususnya Gubernur Kalimantan untuk membantu penertiban pertambangan intan
Pendaftaran hasil galian intan yg beratnya diatas 1 karat kepada pemerintah melalui Gubernur
Prioritas Pembelian intan ada pada pemerintah
Pungutan Negara terhadap hasil pendulangan/penggalian
3.PP No. 32 Tahun 1969
4.Kepmen Pertambangan No. 181/Kpts/M/Pertamb/69Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan galian timah Putih di Riau DaratanBahan galian timah strategis untuk devisa Negara dan menurut kenyataannya di Riau daratan sejak lama telah ada pertambangan rakyat sehingga perlu ditertibkan dan dibimbing
Walaupun SK ini ada, Menteri Pertambangan tetap dapat menunjuk kontraktor untuk mengusahakan pertambangan
IPR diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri dgn jangka waktu 3 s/d 12 bulan. Pemegang izin wajib membayar iuran.
Penambang timah rakyat di Riau harus menjual hasil tambangnya kepda PN. Tambang Timah
Kalau dalam wilayah tersebut ada KK maka perpanjangan ijin atas persetujuan pemegang KK dan tidak akan diberikan ijin bila ada kemungkinan mengganggu pemegang kk.
5.Kepmen Pertambangan No. 188/Kpts/M/Pertamb/1969Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Propinsi BengkuluEmas adalah bahan galian yang sangat vital bagi penghasilan Negara dan Daerah. Dibengkulu telah lama terdapat pertambangan emas yang dilakukan oleh rakyat. Perlu ditertibkan dan dibina.
Walaupun SK ini ada, Menteri Pertambangan tetap dapat menunjuk kontraktor untuk mengusahakan pertambangan
Pungutan Negara terhadap hasil pertambangan
IPR diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri dgn jangka waktu 3 s/d 12 bulan. Pemegang izin wajib membayar iuran.
Kalau dalam wilayah tersebut ada KK maka perpanjangan ijin atas persetujuan pemegang KK dan tidak akan diberikan ijin bila ada kemungkinan mengganggu pemegang kk.
6.Kepmen Pertambangan No. 77/Kpts/M/Pertamb/1973Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi UtaraEmas adalah bahan galian yang sangat vital bagi penghasilan Negara dan Daerah. Di Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi Utara telah lama terdapat pertambangan emas yang dilakukan oleh rakyat. Perlu ditertibkan dan dibina.
Walaupun SK ini ada, Menteri Pertambangan tetap dapat menunjuk kontraktor untuk mengusahakan pertambangan
IPR diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri dgn jangka waktu 3 s/d 12 bulan. Pemegang izin wajib membayar iuran.
Pungutan Negara terhadap hasil pertambangan
Kalau dalam wilayah tersebut ada KK maka perpanjangan ijin atas persetujuan pemegang KK dan tidak akan diberikan ijin bila ada kemungkinan mengganggu pemegang kk.
7.Kepmen Pertambangan No. 763/Kpts/M/Pertamb/1974Pengaturan Izin Pertambangan Rakyat Untuk bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik Malaya Propinsi jabarPenambangan kaolin telah dilakukan secara kecil-kecilan didaerah Karaha dan untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya perlu ditertibkan dan dibimbing
IPR diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri dgn jangka waktu selama-lamanya 5 tahun dengan luasan tidak lebih dari 5 Ha. Pemegang izin wajib membayar iuran.
8.Permen Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis Dan Vital (Golongan A & B)Pertambangan rakyat dalam permen ini adalah : usaha pertambangan golongan strategis (golongan a) dan vital (golongan b) yang dilakukan oleh rakyat setempat yang bertempat tinggal didaerah bersangkutan untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari yang diusahakan secara sederhana
Penetapan wilayah pertambangan rakyat dan izin pada dilimpahkan Gubernur dan menteri dapat membatalkan penetapan wilayah pertambangan rakyat utk kepentingan Negara.
Tambang rakyat yg timbul setelah ada Kuasa Pertambangan adalah tambang tidak syah
Penetapan wilayah pertambangan rakyat tdk menutup kemungkinan diatasnya diberikan KP/KK. Pertambangan rakyat tdk boleh menghalangi pengembangan usaha pertambangan yg syah pada wilayah yg bertindihan dgn wilayah penambangan rakyat (Psl 5)
Lampiran 2
Sasaran pembangunan bidang pertambangan dan sumber daya mineralArah Pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral
Kegiatan-kegiatan Program Pembinaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas;
Meningkatkan eksplorasi dalam upaya menambah cadangan migas dan sumber daya mineral lainnya; Pembinaan dan pengawasan kegiatan penambangan;
Terjaminnya pasokan migas dan produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri;
Meningkatkan eksploitasi dengan selalu memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan, khususnya mempertimbangkan kerusakan hutan, keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan; Pengawasan produksi, pemasaran, dan pengelolaan mineral dan batubara, panas bumi dan air tanah;
Meningkatnya investasi pertambangan dan sumber daya mineral dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha;
Menjamin kepastian hukum melalui penyerasian aturan dan penegakan hukum secara konsekuen; dan
Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri dan sianida dalam usaha pertambangan emas rakat termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada industri kecil;
Teridentifikasinya “kawasan rawan bencana geologi” sebagai upaya pengembangan sistem mitigasi bencana; dan
Meningkatkan pelayanan dan informasi pertambangan, termasuk informasi kawasan yang rentan terhadap bencana geologi. Sosialisasi kebijakan dan regulasi bidang pertambangan;
Berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI) dan usaha-usaha pertambangan yang merusak dan yang menimbulkan pencemaran. Pengembangan eksplorasi dan inventarisasi potensi sumber daya mineral, batu bara, dan panas bumi;