Rabu, 15 Juni 2011

SYAIR ORANG MUNA


Syair Orang Muna
            Leluhur orang Wuna  yang kini diklaim masih jauh dari pola pikir modern, telah memberikan gambaran bagaimana kondisi sosial anak cucu mereka. Seperti halnya makna tersirat dari salah satu syair berikut ini :
1.       Masangia natipake nipakeno kamokula ini
(semoga diamalkan amalan orang ini)
2.       Medam panatipake aitu nandomo lalo
(kalaupun tidak diamalkan itu terserah kemauan hati)
3.       Tama koe ndososo rato namada kaawu
(namun jangan menyesal pada saatnya nanti)
4.       Dhamani sorumatono, dhamani o kasikola
(zaman yang akan datang, zaman terpelajar)
5.       Dasipande-pandeham mieno dhunia ini
(semua penghuni dunia akan pintar)
6.       Anahi bhe kamokula kesenom somandeno
(anak-anak dan orang tua masing-masing pintar)
7.       Sada sipande-pandeha dhunia nabale ronggamo
(saat semuanya pintar dunia akan gonjang-ganjing)
8.       Nabharim soniwura, nabharim sonifetingke
(banyak yang akan dilihat, banyak yang akan didengar)
9.       Anahi hende bughou tadamangka-damangkamo
(generasi muda akan mengikut sembarang)
10.   Damangkafi powurando, damangkafi pofetingkendo
(mengikut apa yang dilihat, mengikut apa yang didengarkan)
11.   Nipakeno kamokula paem natikona hae
(amalan orang tua terdahulu tidak akan dipedulikan lagi)
12.   Amano bhe anano dapogai nsoririmo
(ayah dan anak saling membelakangi)
13.   Isano bhe aino dapogati kundomo
(kakak dan adik saling bertolak belakang)
14.   Pae amangka ihintu apandemo dua
(saya tidak mengikutimu, saya juga sudah pintar)
            Menurut informan yang pernah diajak berdiskusi oleh penulis, syair ini diciptakan oleh Muhammad Saadidun pada tahun 1931, dan mulai saat itu turun temurun dijadikan pedoman dalam melihat fenomena perjalanan bangsa dan negara bahkan dunia hingga kini. Secara akademis, makna dari bait-bait syair di atas tidak dapat dipungkiri kebenarannya saat ini, terlebih pasca reformasi digulirkan dan demokrasi diagungkan-agungkan melebihi agama. Semua orang bersuara atas nama kebebasan dalam bingkai hak asasi manusia. Sayangnya, kebebasan yang di agung-agungkan itu ternyata kebebasan tanpa batas dan memberi ruang tak terhingga pada siapapun untuk berbuat apapun. Demikian kebebasan yang dilandasi ilmu pengetahuan manusia yang telah disesatkan iblis menjadi penyebab keruntuhan sifat serta prilaku sosial manusia.
            Lihat saja pada saat pemilihan pemimpin politik; Antara anak dan orang tua saling berselisih hanya karena perbedaan dukungan atas salah satu figur calon pemimpin politik tertentu. Si adik dan si kakak terpaksa bermusuhan satu sama lain karena alasan ekonomi maupun politik. Semuanya bersikukuh mengaku lebih tahu akan  semua hal meskipun sebenarnya itu sedikit atau tidak sama sekali selain kebohongan;

            Di pihak lain, kewibawaan pemerintah dan agama semakin pudar di mata rakyat serta manusia pada umumnya. Pada kondisi seperti ini, ketersesatan manusia ke jalan iblis akibat ilmu pengetahuan manusia itu sendiri semakin terbuka lebar. Pemerintah yang seharusnya berkewajiban membuat regulasi berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan serta kemanusiaan, akhirnya melahirkan produk-produk hukum yang mengajak manusia untuk membangkang kepada Allah. Hasilnya korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela sebagai salah satu ciri hawa nafsu para penguasa sejak zaman era prasejarah hingga abad modern.
            Di kalangan rakyat jelata, berkembang nafsu tidak beradab dalam wujud pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, serta berbagai tindak kriminalitas kasat mata lainnya. Baik penguasa korup, kolutif dan nepotis sebagai bentuk kejahatan halus maupun prilaku barbarisme di kalangan rakyat jelata, keduanya merupakan bentuk pembangkangan manusia terhadap Allah.

            Namun satu hal yang penulis ingin garis bawahi terkait prilaku kejahatan penguasa dan rakyat jelata adalah, nafsu hewaniah rakyat jelata muncul akibat kegagalan pemerintah menciptakan suasana nyaman untuk rakyat. Nafsu hewaniah kaum jelata berbanding lurus dengan nafsu para pejabat pemerintah yang menuhankan harta, jabatan dan kepuasan seksual. Sederhananya, pemerintah pasti bisa memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya bila mampu menanggulangi prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme para pejabat pemerintahan.
            Namun keadaan sekarang semakin tidak terkendali seiring meningkatnya harga kebutuhan hidup yang berpadanan dengan tingkat kewibawaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Korupsi, kolusi dan nepotisme semakin sulit diberantas karena prilaku rakyat seolah telah berubah, dengan melegitimasi KKN sebagai salah satu kewajaran.
            Dalam penerimaan pegawai negeri sipil, misalnya, pejabat pemerintah aliran makelar PNS tidak perlu bersusah-bersusah lagi mencari mangsa calon PNS karena masyarakat sendiri akan mencari para makelar tersebut, lalu membayar uang berapapun asalkan lulus menjadi PNS.
            Perselingkungan para makelar dan calon PNS tersebut akhirnya berujung pada menguatnya virus KKN yang terus berputar dalam roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana tidak, biaya (cost) yang mahal ketika mendaftar menjadi pegawai negeri sipil, kemudian akan menyebabkan seseorang mencari pengembalian modal ketika lulus PNS, dengan memanfaatkan jabatan untuk melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme.
            Selain PNS, biaya mahal juga harus dikeluarkan para calon anggota legislatif, kepala daerah ataupun presiden ketika mengikuti pemilihan umum sebagai syarat utama terlibat dalam kancah demokrasi. Miliayaran bahkan triliunan rupiah harus dikeluarkan para politisi, mulai dari membayar pintu di salah satu partai hingga berakhir pada pembayaran massa saat kampanye dan menjelang pemilihan umum atau lebih dikenal dengan istilah ‘serangan fajar’. Sama seperti halnya calon PNS yang kemudian lulus dan menjabat, para politisi pun akan bertindak mencari pengembalian modal selama pemilihan umum melalui KKN. Demikian siklus tersebut akan kembali berulang pada generasi berikutnya dan seterusnya.
            Di kalangan pejabat politis dan birokrasi sengaja memelihar hubungan gelap dengan para pengusaha kapitalis sebagai sumber pengembalian modal ketika mendaftar menjadi pegawai negeri sipil mapun pejabat politik di pemerintahan. Berbagai peraturan perundangan-undangan ditelorkan atas dasar melindungi kepentingan korporasi. Kawasan hutan yang menjadi tempat bermukim satu komunitas masyarakat adat dijual  secara diam-diam kepada pengusaha swasta. Pemukiman-pemukiman kumuh digusur dengan alasan ketertiban kawasan, setelah itu dijual kepada pengusaha untuk kemudian dibangun pusat-pusat perbelanjaan modern maupun kompleks perumahan elit. Selanjutnya yang terjadi adalah konflik antara masyarakat dan pekerja perusahaan yang tidak tahu apa-apa. Saat konflik terjadi, pemerintah melalui dalih menciptakan ketertiban di masyarakat kemudian mengerahkan satuan-satuan keamanan, baik Polisi Pamong Praja ataupun personil Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Akhirnya aparat keamanan terlibat bentrokan fisik dengan masyarakat yang seharusnya dilindungi. Mekanisme seperti ini sudah lumrah terjadi pada negara miskin yang memaksakan menganut paham demokrasi.

SOWITE


            Kerajaan Muna masa lampau walaupun masih tergolong kerajan tradisional, namun ternyata masyarakat dan Raja-rajanya telah memiliki jiwa Nasionalisme dan wawasan kebangsanaan yang cukup tinggi. Jiwa cinta tanah air dan rela berkorban untuk membela kedaulatan negara telah tertanam dalam diri rakyat Muna sejak Sugi Manuru ( 1428 ).
            Raja Muna VI Sugi Manuru mengajarkan falsafa dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dikenal dengan falsafa SOWITE ( Cinta Tanah Air ). Falsafa Sowite tersebut kemudian diuaraikan dalan tiga nilai- nilai dasar yaitu
1.      Hansuru-hansuru bahda Sumano Kono Hansuru Liwu ( Rela berkorban demi kedaulatan bangsa dan Negara)
2.      Hansuru-hansuru Liwu Sumano Kono Hansuru Adhati ( Walaupun negara hancur Nilai adat harus tetap dipertahankan)
3.      Hansuru-hansuru Adhati Sumano Tangka Agama. ( Bila Nilai adat sudah tidak bisa dipertahankan, maka nilai-nilai agama harus tetap kuat dan menjadi pedoman )
           
            Ketiga nilai dasar tersebut wajib diamalkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh warga Kerajaan Muna baik dia berada di wilayah Kerajaan Muna maupun berada diwilayah lain. Kemerdekaan dalam arti yang luas bagi masyarakat Muna menjadi hal yang mutlak untuk diperjuangka sehinga kalau ada pihak lain yang mencoba untuk menggangu maka tidak segan-segan masyaraat Muna akan melawannya..
            Kemerdekaan yang dmaksud warga masyarakat Muna bukanlah saja kemerdekaan pribadinya tetapi lebih bertitik tolak pada kemerdekaan yang universal dalam hal ini juga termasuk kemerdekaan dan kedaulatan Kerajaan-kerajaan tetangga. Hal ini telah perlihatkan oleh Raja Muna VII La Kilaponto yang tiddak segan-segan melawan La Bolontio tokoh bajak laut bermata satu yang telah memporak porandakan kerajan-kerajaan tetanga Kerajaan Muna seperti Kerajaan Selayar, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Buton. Demi membela keerdekaan dan kedaulatan Kerajan-Kerajaan tetanganya tersebut, Raja La Kilaponto menyatakan perang terhadap La Bolontio yang kemudian berhasil di kalahkannya bahkan sampai membnuhnya disekitar Pantai Boneatiro Yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton.
            Tidak sampai disitu, setelah La Kilaponto berhasil membunuh La Bolontio, kemudian dilanjutkan mengejar sisa-sisa pasukannya yang masih berada di Selayar dan Kerajaan Konawe. Setelah seluruh Pasukan La Bolontio benar benar habis maka La Kilaponto kemudian melakukan penataan pemerintahan pada kerajaan-kerajaan tersebut sampai benar-benar stabil. Karena jasa-jasanya tersebut, maka oleh asyarakat dan tokon adat setempat menobatkannya sebagai Raja pada kerajaan dimaksud.
            Olehnya itu La Kilaponto Raja Muna VII dikenal sebagai Raja yang mepersatukan seluruh Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Muna, Kerajaan Buton, Kerajaan Konawe, Kerajaan Kaledupa dan Kerajaan Kabaena.
            Pada Kerajaan-Kerajaan yang menobatkanya sebagai Raja tersebut, La Kilaponto diberi gelar Kehormatan seperti:
1.      Di Kerajan Konawe ia dianugrahi Gelar La Tolaki ( Menjadi Laki-laki/Raja) atau Haluoleo ( Delapan hari ).
2.      Di Kerajaan Buton La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-Timbanga ( orang yang menetapkan hukum/orang yang adil) / Sultan Kaimuddin Khalifaul Khamis/ Murhum. Dua gelar terakhir dianugrahi setelah beliau berhasil menjadikan Kerajaan Buton menjadi Kesultanan dan La Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan I.
3.      Sedangkan di Muna ia digelar dengan Omputon Mepokonduaghono Ghoera artinya Raja yang menggabungkan wilayah,negara.
           
            Kendatipun La Kilaponto telah di nobatkan sebagai Raja pada kerajaan-kerajaan yang diselamatkan dari kehancuran tersebut beliau tidak berusaha untuk menguasainya, bahkan ketika kerajaan-kerajaan tersebut dianggap telah mampu menjalankan pemerintahannya sendiri maka jabatan raja pada kerajaan tersebut diserahkan pada yang berhak.
            Sikap La Kilaponto tersebut merupakan cerminan dari ajaran yang ditanamkan oleh ayahandanya Raja Muna VI Sugi manuru yaitu ; “poangka-angka tao, Poadha-adhati, Popiara-piara dan pobini-biniti kuli” artinya saling tepa selera, saling menghargai, saling memelihara dan saling tenggang rasa.
            Setelah dilantik menjadi Raja Buton dan menjadikan Kerajaan itu sebagai kesultanan, nilai-nilai yang dijarkan oleh ayahandanya seperti tersebut diatas kemudian diajarkan dan disebarluaskan dikerajaan itu. Pada pemerintahan Sultan Buton IV Dayanu Ikhsanuddin, nilai-nilai yang disebarluaskan oleh La Kilaponto tersbut diadopsi dalam Konstitusi Kesultanan Buton yang dikenal dengan “Martabat Tujuh”. Karena Konstitusi tersebut merupakan konstitusi KerajaanIslam, maka nilai-nilai dasar tersebut dielaborasi dengan nilai-nila Islam.