Rabu, 09 November 2011

profi sang refolusioner

Bung Karno dan Tonil
Bung Karno bersama pemain tonil di Bengkulu

Bung Karno gemar pada seni lukis. Bung Karno gemar keroncong. Bung Karno gemar pertunjukan wayang dan tari nasional. Dan masih banyak lagi bidang seni yang digemari Bung Karno. Tetapi jarang yang tahu bahwa Bung Karno juga seorang penulis dan pengarang drama.
Ketika Bung Karno menjalani pengasingan di Flores dan kemudian Bengkulu, pada hari-hari pertama ia memang terasing dari masyarakat sekitar, yang merasa takut terhadap orang yang menjadi musuh Belanda. Hal itu menyebabkan Bung Karno
merasa sangat tertekan. "Aku memerlukan suatu pendorong sebelum aku membunuh
semangatku sendiri," kata Bung Karno dalam otobiografinya. "Itulah sebabnya aku mulai menulis cerita sandiwara. Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah," lanjutnya.
Klub Tonil di EndeTentu saja Bung Karno tidak hanya mengarang naskah sandiwara, tetapi juga berusaha keras untuk mementaskannya di panggung. Maka dibentuklah perkumpulan sandiwara , Toneel Club Kelimutu, mengambil nama dana tiga warna di kawasan Ende. Bermodalkan uang 27 sen, klub sandiwara ini memulai aktivitasnya, dengan tujuan ganda: sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat sekaligus untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Dalam perkumpulan sandiwara itu Bung Karno kerja serabutan: menjabat direktur klub sampai mencari tempat pertunjukan, melatih para pemain sampai menjual karcis pertunjukan. Masalah pakaian untuk para pemeran utama serta layar, ditangani oleh Ibu Inggit. Tetapi upaya menyelenggarakan pertunjukan di panggung, ternyata tidak mudah, Bung Karno adalah seorang tahanan politik, yang gerak-geriknya selalu diawasi. Di samping itu di Ende gedung pertunjukan sangat terbatas. Syukurlah, dengan bantuan pater G. Huijtink dari missi Ende, perkumpulan sandiwara Kelimutu dapat menyelenggarakan pentas perdananya di gedung paroki, Imakulata. Sambutan masyarakat luar biasa. Dan begitulah pada waktu-waktu berikutnya pertunjukan bisa berlangsung, bahkan pernah berturut-turut selama beberapa hari.
Indonesia 1945
Naskah sandiwara itu beraneka ragam ceritanya. Dalam karyanya yang pertama berjudul "Dr. Syaitan", tampaknya Bung Karno terpengaruh oleh cerita Barat mengenai Frankenstein, Boris Karloff, seorang dokter yang mampu memindahkan organ orang yang masih hidup. Dalam Dr. Sjaitan dikisahkan adanya seorang tokoh yang serupa Boris Karloff, dapat menghidupkan mayat dengan memindahkan hati dari orang hidup. Tentang karyanya yang pertama ini Bung Karno berkomentar: "Cerita ini membawakan suatu pesan moral. Pesan yang tersembunyi di dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi."
Karya yang lain adalah "Indonesia 1945". Sesuai dengan judulnya, isi sandiwara ini adalah ramalan pecahnya Perang Pasifik, yang membuat Bung karno yakin Indonesia akan merdeka pada tahun 1945. Lewat sandiwara ini Bung Karno mencoba menyadarkan masyarakat Ende akan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di tanah pengasingan itu Bung Karno tidak mungkin mengadakan pidato seperti ketika bebas di Jawa dulu. Sandiwara dengan demikian merupakan cara terbaik Bung karno untuk mensosialisasikan ide-ide dan semangatnya.
Kesepuluh sandiwara lain yang ditulis Bung Karno adalah Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero-Dinamit, Amuk, Sanghai Rumba, Gera Ende. Pada hari Minggu setelah selesai latihan atau pementasan, para anggota sandiwara piknik ke luar kota. Tempat favorit mereka adalah kali Wolowona, yang terletak sekitar 5 km dari pusat kota Ende. Sepanjang jalan mereka menyanyikan lagu-lagu populer dan keroncong diiringi alat musik sederhana.



Bung Karno Sebagai Kolektor Buku
 
Kamarku penuh dengan tumpukan buku, di atas dressoir, di atas kursi, di atas lantai, bahkan di tempat cuci tangan, sehingga di tengah kamar yang megah dari orang yang kuat yang menakjubkan itu para pelayan menjumpai kutu busuk di antara halaman-halaman buku. Mereka tidak lagi membiarkanku menaruh buku di atas tempat tidurku."

Demikian dapat kita baca dalam otobiografi Bung Karno, sebagaimana dikisahkan oleh Cindy Adams, dalam bukunya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Bung Karno memang dikenal sebagai kolektor buku kaliber berat, bahkan tidak salah kalau beliau juga digolongkan sebagai "kutu buku". Hal tersebut juga dituturkan oleh orang-orang yang pernah dekat Bung Karno,seperti putera sulungnya, Guntur Soekarno, serta pengawal pribadinya, H. Mangil, bahkan orang-orang lain yang pemah masuk ke dalam kamar tidur beliau di Istana Merdeka.

Mengapa Bung Kamo begitu akrab dengan buku? "Kenyataan-kenyataan yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan. Karena itu aku mengundurkan diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris 'Dunia Pemikiran'. Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputusasaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira. Seluruh waktu kupergunakan untuk membaca." Demikian kata Bung Karno dalam otobiografinya.

Lewat buku, Bung Karno bisa mengadakan 'dialog' dan 'bertukar pikiran' dengan tokoh-tokoh pemikir dunia, mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, filsafat, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Kesemuanya itu dapat mengembangKan dan memperluas wawasan untuk bisa disumbangkan dan diabdikan kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang sangat dicintainya. Bahkan juga kepada dunia. Betapa luas wawasan beliau dapat dilihat dari banyaknya tokoh yang diajaknya berdialog', seperti dituturkan dalam otobiografinya di atas: "Di dalam dunia pemikiranku, aku berbicara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris; aku berhadapan muka dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Karl Marx, Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis." Tidak heran kalau dalam tulisan-tulisan maupun pidato-pidato Bung Karno kita menemukan cuplikan ucapan tokoh-tokoh pemikir tingkat dunia itu. Bahkan banyak kata-kata atau ungkapan asing yang diambil Bung Karno, akhimya mewamai perbendaharaan bahasa Indonesia. Contohnya: vivere pericoloso, dedication of life, hogere optrekking, mankind is one.
Sejak di Surabaya.
Keakraban Bung Kamo dengan buku dimulai sejak Bung Kamo muda indekos di rumah H.O.S. Cokroaminoto, tokoh pergerakan nasional pimpinan Sarekat Islam yang pernah dijuluki "raja Jawa tanpa mahkota" oleh kolonialis Belanda. Keadaan ekonomi di Hindia Belanda waktu itu sangat parah. Sebagai siswa HBS di Surabaya, Bung Kamo muda setiap bulan hanya dikirimi uang saku setengah gulden oleh ayahnya, R. Sukemi Sosrodihardjo yang guru sekolah rendah. Tentu saja Bung Karno tak bisa banyak menyisihkan uang untuk membeli buku. Syukurlah di Surabaya waktu itu sudah ada perpustakaan yang besar yang diselenggarakan oleh sebuah perkumpulan teosofi. Karena ayahnya dikenal sebagai seorang teosof, Bung Karno muda boleh "memasuki peti harta ini, di mana tidak ada batasnya buat seorang anak yang miskin." Barulah beberapa tahun kemudian, setelah uang sakunya dinaikkan menjadi satu setengah gulden, Bung Karno mampu membeli buku-buku yang dirninatinya. Hobi mengoleksi buku terus dilakukannya, tidak hanya ketika Bung Karno bersekolah di Bandung, tinggal di pengasingan di Ende dan Bengkulu, maupun setelah menjabat Presiden dari negara yang diproklamasikannya.

Buku-buku koleksi itu tidak seluruhnya berasal dari pembelian Bung Karno sendiri. Sebagian ada yang merupakan hadiah dari para sahabat, sebagian lagi hasil tukar-menukar atau barter, dan sebagian lagi secara pinjam dari teman-teman, tetapi yang empunya sungkan untuk memintanya kembali. Buku Neocolonialism karangan Dr. Kwame Nkrumah (pendiri Gerakan Non-Blok dari Ghana) misalnya, diperoleh melalui barter dengan buku Under the Banner of the Revolution (terjemahan bahasa Inggris dari kumpulan tulisan Bung Karno. Dibawah Bendera Revolusi) dan Indonesia Accused (Indonesia Menggugat). Sedangkan berbagai buku mengenai pemikiran Swami Vivekananda didapatnya dari Pandit Jawaharlal Nehru, perdana menteri India.

Hancur.
Banyak membaca buku dengan cermat jelas memberikan wawasan yang lebih luas serta pengetahuan yang sangat mendalam mengenai suatu ilmu pada Bung Karno, sehingga membuat isi pidato maupun artikel yang ditulis sangat berbobot.

Lalu bagaimana Bung Karno melahap buku-buku yang tebal dan berat isinya itu? "Kalau buku yang-saya anggap penting, saya baca dari A sampai Z. Dan yang penting-penting saya garis bawahi. Saya tulisi dengan pendapat saya. Pendek kata saya corat- coret, sehingga buku tersebut setengah hancur," tutur Bung Karno pada suatu kesempatan. Yang sangat luar biasa adalah daya ingat Bung Karno. Ia tahu persis di mana suatu kalimat terdapat dalam salah satu judul buku dari koleksi bukunya yang berjumlah ribuan tersebut. Guntur Soekarno dalam bukunya, Bung Karno: Bapakku, Guruku, menceritakan bagaimana suatu ketika ia diminta membantu Bung Karno yang sedang menyiapkan pidato kenegaraan yang akan disampaikan pada tanggal 17 Agustus. Guntur kecapean karena harus mengambil belasan buku dengan berbagai judul, yang akan dipakai sebagai referensi dalam pidatonya itu.

Buku-buku yang dikumpulkan sejak Bung Karno berusia muda, selalu dibawa pindah bersama Bung Karno bahkan ikut pula dalam kehidupan di pengungsian. Menurut penuturan Ibu Fatmawati Soekarno, sampai periode Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu dari Ende, buku koleksi Bung Karno sudah mencapai 1.000 lebih. Waktu tentara pendudukan Jepang akan memasuki Bengkulu, pemerintah kolonial Belanda berusaha "melarikan" Bung Karno ke Padang, untuk kemudian direncanakan akan diangkut ke Australia tetapi tak berhasil. Buku-buku koleksi Bung Karno berhasil diselamatkan oleh keluarga Bu Fat. Total jenderal koleksi buku yang di- sembunyikan di rumah-rumah keluarga Bu Fat itu berjumlah sebelas peti besar, dengan ukuran 1,5 x 1,5 x 4 meter. Sayang, ada tiga peti buku yang ketahuan oleh Belanda dan segera dimusnahkan. Tangan-tangan kotor Belanda memang berusaha menghancurkan koleksi buku-buku Bung Karno tersebut.

Dan ketika tentara pendudukan Jepang datang, kalau saja persembunyian buku itu sampai diketahui mereka, buku-buku tersebut bakal dibumihanguskan. Maklumlah, buku-buku Bung Karno banyak yang berisi anti militerisme dan fasisme. Dan selama tiga setengah tahun barulah koleksi Bung Karno itu bisa aman di rumah kediaman Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta. Pada waktu revolusi fisik, ketika ibukota RI pindah ke Yogyakarta, sebagian buku Bung Karno dibawa serta, sedang sebagian dititipkan pada kerabat yang tinggal di Jakarta. Setelah Bung Karno menjabat sebagai Presiden RI, koleksi buku-buku yang terus bertambah itu dipajang di lstana Kepresidenan, baik di lstana Merdeka (yang terbanyak), lstana Negara, lstana Bogor, lstana Tampak siring.