Bung Karno dan Tonil
Bung
Karno gemar pada seni lukis. Bung Karno gemar keroncong. Bung Karno
gemar pertunjukan wayang dan tari nasional. Dan masih banyak lagi bidang
seni yang digemari Bung Karno. Tetapi jarang yang tahu bahwa Bung Karno
juga seorang penulis dan pengarang drama.
Ketika Bung Karno menjalani pengasingan di Flores dan kemudian
Bengkulu, pada hari-hari pertama ia memang terasing dari masyarakat
sekitar, yang merasa takut terhadap orang yang menjadi musuh Belanda.
Hal itu menyebabkan Bung Karno
merasa sangat tertekan. "Aku memerlukan suatu pendorong sebelum aku membunuh
semangatku
sendiri," kata Bung Karno dalam otobiografinya. "Itulah sebabnya aku
mulai menulis cerita sandiwara. Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan
12 buah," lanjutnya.
Klub Tonil di EndeTentu saja Bung Karno tidak
hanya mengarang naskah sandiwara, tetapi juga berusaha keras untuk
mementaskannya di panggung. Maka dibentuklah perkumpulan sandiwara ,
Toneel Club Kelimutu, mengambil nama dana tiga warna di kawasan Ende.
Bermodalkan uang 27 sen, klub sandiwara ini memulai aktivitasnya, dengan
tujuan ganda: sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat
sekaligus untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Dalam perkumpulan sandiwara itu Bung Karno kerja serabutan: menjabat
direktur klub sampai mencari tempat pertunjukan, melatih para pemain
sampai menjual karcis pertunjukan. Masalah pakaian untuk para pemeran
utama serta layar, ditangani oleh Ibu Inggit. Tetapi upaya
menyelenggarakan pertunjukan di panggung, ternyata tidak mudah, Bung
Karno adalah seorang tahanan politik, yang gerak-geriknya selalu
diawasi. Di samping itu di Ende gedung pertunjukan sangat terbatas.
Syukurlah, dengan bantuan pater G. Huijtink dari missi Ende, perkumpulan
sandiwara Kelimutu dapat menyelenggarakan pentas perdananya di gedung
paroki, Imakulata. Sambutan masyarakat luar biasa. Dan begitulah pada
waktu-waktu berikutnya pertunjukan bisa berlangsung, bahkan pernah
berturut-turut selama beberapa hari.
Indonesia 1945
Naskah sandiwara itu beraneka
ragam ceritanya. Dalam karyanya yang pertama berjudul "Dr. Syaitan",
tampaknya Bung Karno terpengaruh oleh cerita Barat mengenai
Frankenstein, Boris Karloff, seorang dokter yang mampu memindahkan organ
orang yang masih hidup. Dalam Dr. Sjaitan dikisahkan adanya seorang
tokoh yang serupa Boris Karloff, dapat menghidupkan mayat dengan
memindahkan hati dari orang hidup. Tentang karyanya yang pertama ini
Bung Karno berkomentar: "Cerita ini membawakan suatu pesan moral. Pesan
yang tersembunyi di dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang sudah
tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi."
Karya yang lain adalah "Indonesia 1945". Sesuai dengan judulnya, isi
sandiwara ini adalah ramalan pecahnya Perang Pasifik, yang membuat Bung
karno yakin Indonesia akan merdeka pada tahun 1945. Lewat sandiwara ini
Bung Karno mencoba menyadarkan masyarakat Ende akan perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Di tanah pengasingan itu Bung Karno tidak mungkin
mengadakan pidato seperti ketika bebas di Jawa dulu. Sandiwara dengan
demikian merupakan cara terbaik Bung karno untuk mensosialisasikan
ide-ide dan semangatnya.
Kesepuluh sandiwara lain yang ditulis Bung Karno adalah Rendo,
Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis,
Aero-Dinamit, Amuk, Sanghai Rumba, Gera Ende. Pada hari Minggu setelah
selesai latihan atau pementasan, para anggota sandiwara piknik ke luar
kota. Tempat favorit mereka adalah kali Wolowona, yang terletak sekitar 5
km dari pusat kota Ende. Sepanjang jalan mereka menyanyikan lagu-lagu
populer dan keroncong diiringi alat musik sederhana.
Bung Karno Sebagai Kolektor Buku
Kamarku penuh dengan tumpukan buku, di atas dressoir,
di atas kursi, di atas lantai, bahkan di tempat cuci tangan, sehingga
di tengah kamar yang megah dari orang yang kuat yang menakjubkan itu
para pelayan menjumpai kutu busuk di antara halaman-halaman buku. Mereka
tidak lagi membiarkanku menaruh buku di atas tempat tidurku."
Demikian
dapat kita baca dalam otobiografi Bung Karno, sebagaimana dikisahkan
oleh Cindy Adams, dalam bukunya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia. Bung Karno memang dikenal sebagai kolektor buku kaliber
berat, bahkan tidak salah kalau beliau juga digolongkan sebagai "kutu
buku". Hal tersebut juga dituturkan oleh orang-orang yang pernah dekat
Bung Karno,seperti putera sulungnya, Guntur Soekarno, serta pengawal
pribadinya, H. Mangil, bahkan orang-orang lain yang pemah masuk ke dalam
kamar tidur beliau di Istana Merdeka.
Mengapa Bung Kamo begitu
akrab dengan buku? "Kenyataan-kenyataan yang kulihat dalam duniaku yang
gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan. Karena itu aku mengundurkan
diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris 'Dunia Pemikiran'.
Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri
aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan
keputusasaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia
yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah
aku dapat hidup dan sedikit bergembira. Seluruh waktu kupergunakan untuk
membaca." Demikian kata Bung Karno dalam otobiografinya.
Lewat
buku, Bung Karno bisa mengadakan 'dialog' dan 'bertukar pikiran' dengan
tokoh-tokoh pemikir dunia, mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya,
filsafat, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Kesemuanya itu dapat
mengembangKan dan memperluas wawasan untuk bisa disumbangkan dan
diabdikan kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang sangat dicintainya.
Bahkan juga kepada dunia. Betapa luas wawasan beliau dapat dilihat dari
banyaknya tokoh yang diajaknya berdialog', seperti dituturkan dalam
otobiografinya di atas: "Di dalam dunia pemikiranku, aku berbicara
dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb
yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris; aku berhadapan muka dengan
Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Karl
Marx, Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan
Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand dan Jean Jaures ahli pidato
terbesar dalam sejarah Perancis." Tidak heran kalau dalam
tulisan-tulisan maupun pidato-pidato Bung Karno kita menemukan cuplikan
ucapan tokoh-tokoh pemikir tingkat dunia itu. Bahkan banyak kata-kata
atau ungkapan asing yang diambil Bung Karno, akhimya mewamai
perbendaharaan bahasa Indonesia. Contohnya: vivere pericoloso, dedication of life, hogere optrekking, mankind is one.
Sejak di Surabaya.
Keakraban
Bung Kamo dengan buku dimulai sejak Bung Kamo muda indekos di rumah
H.O.S. Cokroaminoto, tokoh pergerakan nasional pimpinan Sarekat Islam
yang pernah dijuluki "raja Jawa tanpa mahkota" oleh kolonialis Belanda.
Keadaan ekonomi di Hindia Belanda waktu itu sangat parah. Sebagai siswa
HBS di Surabaya, Bung Kamo muda setiap bulan hanya dikirimi uang saku
setengah gulden oleh ayahnya, R. Sukemi Sosrodihardjo yang guru sekolah
rendah. Tentu saja Bung Karno tak bisa banyak menyisihkan uang untuk
membeli buku. Syukurlah di Surabaya waktu itu sudah ada perpustakaan
yang besar yang diselenggarakan oleh sebuah perkumpulan teosofi. Karena
ayahnya dikenal sebagai seorang teosof, Bung Karno muda boleh "memasuki
peti harta ini, di mana tidak ada batasnya buat seorang anak yang
miskin." Barulah beberapa tahun kemudian, setelah uang sakunya dinaikkan
menjadi satu setengah gulden, Bung Karno mampu membeli buku-buku yang
dirninatinya. Hobi mengoleksi buku terus dilakukannya, tidak hanya
ketika Bung Karno bersekolah di Bandung, tinggal di pengasingan di Ende
dan Bengkulu, maupun setelah menjabat Presiden dari negara yang
diproklamasikannya.
Buku-buku koleksi itu tidak seluruhnya
berasal dari pembelian Bung Karno sendiri. Sebagian ada yang merupakan
hadiah dari para sahabat, sebagian lagi hasil tukar-menukar atau barter,
dan sebagian lagi secara pinjam dari teman-teman, tetapi yang empunya
sungkan untuk memintanya kembali. Buku Neocolonialism karangan Dr. Kwame
Nkrumah (pendiri Gerakan Non-Blok dari Ghana) misalnya, diperoleh
melalui barter dengan buku Under the Banner of the Revolution
(terjemahan bahasa Inggris dari kumpulan tulisan Bung Karno. Dibawah
Bendera Revolusi) dan Indonesia Accused (Indonesia Menggugat). Sedangkan
berbagai buku mengenai pemikiran Swami Vivekananda didapatnya dari
Pandit Jawaharlal Nehru, perdana menteri India.
Hancur.
Banyak
membaca buku dengan cermat jelas memberikan wawasan yang lebih luas
serta pengetahuan yang sangat mendalam mengenai suatu ilmu pada Bung
Karno, sehingga membuat isi pidato maupun artikel yang ditulis sangat
berbobot.
Lalu bagaimana Bung Karno melahap buku-buku yang tebal
dan berat isinya itu? "Kalau buku yang-saya anggap penting, saya baca
dari A sampai Z. Dan yang penting-penting saya garis bawahi. Saya tulisi
dengan pendapat saya. Pendek kata saya corat- coret, sehingga buku
tersebut setengah hancur," tutur Bung Karno pada suatu kesempatan. Yang
sangat luar biasa adalah daya ingat Bung Karno. Ia tahu persis di mana
suatu kalimat terdapat dalam salah satu judul buku dari koleksi bukunya
yang berjumlah ribuan tersebut. Guntur Soekarno dalam bukunya, Bung
Karno: Bapakku, Guruku, menceritakan bagaimana suatu ketika ia diminta
membantu Bung Karno yang sedang menyiapkan pidato kenegaraan yang akan
disampaikan pada tanggal 17 Agustus. Guntur kecapean karena harus
mengambil belasan buku dengan berbagai judul, yang akan dipakai sebagai
referensi dalam pidatonya itu.
Buku-buku yang dikumpulkan sejak
Bung Karno berusia muda, selalu dibawa pindah bersama Bung Karno bahkan
ikut pula dalam kehidupan di pengungsian. Menurut penuturan Ibu
Fatmawati Soekarno, sampai periode Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu
dari Ende, buku koleksi Bung Karno sudah mencapai 1.000 lebih. Waktu
tentara pendudukan Jepang akan memasuki Bengkulu, pemerintah kolonial
Belanda berusaha "melarikan" Bung Karno ke Padang, untuk kemudian
direncanakan akan diangkut ke Australia tetapi tak berhasil. Buku-buku
koleksi Bung Karno berhasil diselamatkan oleh keluarga Bu Fat. Total
jenderal koleksi buku yang di- sembunyikan di rumah-rumah keluarga Bu
Fat itu berjumlah sebelas peti besar, dengan ukuran 1,5 x 1,5 x 4 meter.
Sayang, ada tiga peti buku yang ketahuan oleh Belanda dan segera
dimusnahkan. Tangan-tangan kotor Belanda memang berusaha menghancurkan
koleksi buku-buku Bung Karno tersebut.
Dan ketika tentara
pendudukan Jepang datang, kalau saja persembunyian buku itu sampai
diketahui mereka, buku-buku tersebut bakal dibumihanguskan. Maklumlah,
buku-buku Bung Karno banyak yang berisi anti militerisme dan fasisme.
Dan selama tiga setengah tahun barulah koleksi Bung Karno itu bisa aman
di rumah kediaman Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta. Pada waktu
revolusi fisik, ketika ibukota RI pindah ke Yogyakarta, sebagian buku
Bung Karno dibawa serta, sedang sebagian dititipkan pada kerabat yang
tinggal di Jakarta. Setelah Bung Karno menjabat sebagai Presiden RI,
koleksi buku-buku yang terus bertambah itu dipajang di lstana
Kepresidenan, baik di lstana Merdeka (yang terbanyak), lstana Negara,
lstana Bogor, lstana Tampak siring.