KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI
KETIDAKTERTIBAN SOSIAL
Bagaimana bila
suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka
tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah
kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah
tindakan pemberan
Bagaimana
bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka
tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah
kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah
tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun
menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik,
hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus
dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang
lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan
sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun
kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut
yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik,
kekuasaan dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya
berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat
saja.
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan
keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus,
yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas
adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya
dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu
usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang
diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja
hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang
dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya
(BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian
timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah
sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang
perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau
disebut jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan
berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari
kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang
ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka
bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan
kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang
berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan
dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum
tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi
suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas
sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan
yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin
meningkat. Indonesia
merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal
jauh dalam hal ini.
Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam
slogan umum bahwa Indonesia
negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh
yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata
yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak
pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya
sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan
pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur
masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan
efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses
pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi
sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat
tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.
Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas
yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine
solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul
dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat
penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta
bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif
masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah
karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya
tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil
cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat.
Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam
penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis
utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang
penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik
karena memungkinkan memutus matarantainya.
Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti
seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan
seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena
pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari
kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah".
Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa
korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia . Artinya pokok
permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan
menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan
disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.
PENUTUP
Dari permasalhan diatas korupsi, kolusi dan
nepotisme refleksi dari ketidaktertiban sosial berarti bicara bagaimana pola tingkah laku,
peresapan ajaran agama, moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental
seseorang. Begitu pula halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar
permasalahannya terletak pada kekalahan dari idealisme sosial yang berisi
nilai-nilai yang dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan
nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam struktural masyarakat kita. Hal ini
bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan merupakan barang yang
mahal saat ini. Tapi untuk sebagian orang yang melewati jalan belakang ini
sangatlah mudah. Misalnya cukup dengan membayar sejumlah uang dalam jumlah
besar atau dengan membawa surat
sakti dari "orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam
struktur lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas
yang bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi
kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang bukan
ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya hal ini
seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta tapi juga di
pemerintahan.
Oleh : SUBAR jmp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar